Sinopsis dan Analisis Film
“Sometimes the only way to stay sane is to go a little crazy...” (Susanna Kaysen)
Diangkat dari buku berjudul sama (Girl, Interrupted) yang merupakan kisah nyata penulisnya, Susanna Kaysen, film ini dibintangi oleh Winona Ryder, Angelina Jolie, Whoopi Goldberg, dan Brittany Murphy.
Film ini berkisah tentang seorang wanita muda berumur 18 tahun, Susanna Kaysen (Ryder), yang dianggap mengalami gangguan kejiwaan. Ia diduga melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggak satu botol aspirin dengan sebotol vodka, dan mengalami halusinasi, sehingga harus dirawat di Claymoore Hospital, sebuah rumah sakit khusus yang menangani masalah gangguan mental dan jiwa dimana gadis-gadis yang bermasalah menjalani terapi dan pengobatan (terkadang sampai diberi electro-shocked) kembali menjadi normal.
Di rumah sakit Claymoore, Susanna bertemu dengan beragam karakter pasien wanita. Ada teman sekamarnya Georgina (Clea Duvall) yang disebut the incessant liar; lalu pasien eating-disorder, chicken fetishist dan laxative-junkie bernama Daisy (Brittany Murphy); serta Polly (Elisabeth Moss) yang mengalami krisis percaya diri, akibat wajahnya yang rusak ketika kecelakaan masa kecil. Dan tentunya ada Lisa (Angelina Jolie), gadis liar dan veteran di Claymoore (sudah delapan tahun), sering kabur dan berulang kali tertangkap dan masuk lagi Claymoore sehingga sering diobati dengan obat penenang dan diperingati karena keliarannya. Dan pada akhirnya Kaysen kemudian terpikat dan berteman akrab dengan Lisa Rowe (Angelina Jolie) seorang sociopath yang dengan mudah memanipulasi wanita di sekelilingnya. Dia berteman baik dengan seorang perempuan yang bermasalah di lingkungannya (Lisa), ia jatuh di bawah kekuasaan hipnotis Lisa Rowe (Angelina Jolie) yang paling liar dan paling keras dari kelompok itu.
Di rumah sakit ini, sebagai wanita berumur 18 tahun ia sudah dianggap dewasa hingga bisa menandatangani surat persetujuan mendapatkan perawatan di sana. Awalnya Susanna bersikeras ia tak perlu dirawat karena ia merasa bukan orang gila. Ia teringat ketika kepala sekolah SMA-nya menanyakan rencananya setelah lulus, karena ia satu-satunya murid yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia hanya ingin menulis.
Tapi hal ini ditanggapi dingin oleh kepala sekolah, dan Susanna merasa tersinggung karena menulis adalah hal yang sangat ia suka:
“Look, I’m not going on to burn my bra, or drop acid, or go march on Washington.”
“I just dont want to end up like my mother.”
Kepala sekolah hanya berujar, “Women today have more choices than that.” Yang langsung dibantah Susanna, “No, they don’t.”
Seperti yang sudah disinggung, masa itu adalah ketika para perempuan marak berdemo untuk menuntut hak-hak mereka. Akan tetapi di sini saya tidak terlalu mengerti kalimat kedua karena latar belakang ibu dari Susanna tidak digambarkan secara jelas, hanya keluarga Susanna yang terlihat berpendidikan dan tergolong menengah ke atas. Jika saya boleh mengartikan, sepertinya ibu Susanna seorang yang berpendidikan tinggi tapi pada akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga biasa.
Di rumah sakit Claymoore, Susanna bertemu dengan beragam karakter pasien wanita. Ada teman sekamarnya Georgina (Clea Duvall) yang disebut the incessant liar; lalu pasien eating-disorder, chicken fetishist dan laxative-junkie bernama Daisy (Brittany Murphy); serta Polly (Elisabeth Moss) yang mengalami krisis percaya diri, akibat wajahnya yang rusak ketika kecelakaan masa kecil. Dan tentunya ada Lisa (Angelina Jolie), gadis liar dan veteran di Claymoore (sudah delapan tahun), sering kabur dan berulang kali tertangkap dan masuk lagi Claymoore sehingga sering diobati dengan obat penenang dan diperingati karena keliarannya. Lisa adalah gadis yang enerjik dan passionate. Dia bisa menjadi pelindung bagi gadis lugu, polos, yang takut melawan. Selain itu ada pula Suster Valerie (Whoopi Goldberg) yang menjadi kepala perawat di sana, yang sabar namun tegas.
Analisis Film
Penyebab awal susana didiagnosis menderita borderline personality disorder karena ia diduga melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggak satu botol aspirin dengan sebotol vodka, dan mengalami halusinasi, sehingga harus dirawat di Claymoore Hospital, sebuah rumah sakit khusus yang menangani masalah gangguan mental dan jiwa dimana gadis-gadis yang bermasalah menjalani terapi dan pengobatan (terkadang sampai diberi electro-shocked) kembali menjadi normal.
Pada hari-hari pertamanya di Claymoore, Susanna adalah gadis yang pemarah, anti-sosial, dan keras kepala hingga tidak mau memakan obat penenang yang diberikan rumah sakit padanya. Meski sudah menolak, ia terpaksa memakannya.
Pada saat itu orang tua susana berkunjung ke Claymoore Hospital menjenguk dan melihat perkembangan Susana, ayah Susana menginginkan Susana cepat pulang karena hari natal akan tiba. Setelah itu ibu Susana menanyakan perihal perbatasan yang diderita Susana kepada psikiater dan terungkap dan Susana pun akhirnya mengetahui penyakit apa yang ia dderita dan ternyata ia mengidap Borderline Personality Disorder. Setelah ia mengetahui penyakitnya itu, ia menanyakan apa penyebabnya dan psikiaterpun menjawab karena depresi dan bisa karena faktor dari orang tua.
Pada suatu malam ia dan teman-temannya bermain di basement rumah sakit, dan menyusup ke ruangan dokter dan mencari arsip-arsip mereka dan membaca diagnosis (atau seperti yang Lisa katakan, “diag-non-sense”) yang tertera di dalamnya, Susanna disebut memiliki Borderline Personality Disorde.
Ciri-ciri Borderline Personality Disorder dalam film Girl, interrupted :
Ketidakstabilan citra diri, hubungan, dan suasana hati, ketidakpastian tentang tujuan, impulsif dalam kegiatan yang merusak diri seperti seks bebas, pertentangan sosial dan sikap umumnya pesimis sering diamati hingga merasa ingin mengakhiri hidupnya.
Gejala, Penyebab & Penanganan Borderline Personality Disorder
A.
Gejala
BPD berhubungan dengan
masalah-masalah tertentu dalam hubungan interpersonal, citra diri, emosi,
perilaku, serta pemikiran.
a.
Hubungan
Orang dengan BPD
cenderung memiliki masalah hubungan yang ditandai dengan banyak konflik,
argumen, dan pemutusan hubungan. BPD juga berhubungan dengan sensitivitas yang
kuat terhadap pengabaian, yang meliputi rasa takut ditinggalkan oleh orang yang
dicintai dan berupaya menghindari kenyataan maupun bayangan bila ditinggalkan.
b.
Citra
Diri
Individu dengan BPD
mengalami kesulitan terhadap stabilitas diri mereka. Banyak laporan menunjukkan
penderita mengalami “pasang surut” perasaan ketika menilai diri mereka sendiri.
Suatu saat citra diri
mereka positif, namun di lain kesempatan mereka menganggap diri mereka buruk
bahkan jahat.
c.
Emosi
Ketidakstabilan
emosional adalah ciri kunci dari BPD. Individu dengan BPD mengatakan bahwa
mereka seolah-olah berada di sebuah roller coaster emosi, dengan perubahan
suasana hati yang sangat cepat.
Hanya dalam hitungan
menit, suasana hati dapat berubah secara ekstrem, misalnya dari senang
tiba-tiba menjadi sedih. Individu dengan BPD juga mengalami perasaan marah yang
intens dan kehampaan.
d.
Perilaku
Individu dengan BPD
memiliki kecenderungan terlibat dalam perilaku berisiko dan impulsif, seperti
sering belanja secara impulsif, minum alkohol secara berlebihan atau
menyalahgunakan narkoba, terlibat dalam seks bebas, atau makan berlebihan
(binge eating).
Selain itu, individu
dengan BPD lebih rentan terhadap perilaku melukai diri sendiri atau melakukan
percobaan bunuh diri.
e.
Perubahan
Pola Pikir terkait Stres
Dalam kondisi stres,
orang dengan BPD dapat mengalami perubahan dalam pemikiran, termasuk munculnya
pikiran paranoid atau disosiasi (mati rasa).
B.
Penyebab
Seperti kebanyakan
gangguan psikologis lainnya, penyebab pasti BPD tidak diketahui.
Namun, ada penelitian
yang menunjukkan bahwa beberapa kombinasi alami (biologi atau genetika) dan
nurture (lingkungan) turut berperan.
a.
Genetik
Gangguan ini
ditransmisikan secara genetik dan dipengaruhi oleh lingkungan. Sebuah bentuk
ketakutan akan ditinggalkan oleh orang lain muncul, berkaitan dengan perasaan
emosional mereka untuk terhubung dengan seseorang yang penting bagi mereka.
Saat orang tersebut tidak berada di sisi mereka, maka penderita merasa
kehilangan dan tidak berarti sama sekali. Gambaran dari literatur yang ada
menyarankan bahwa sifat terkait dengan BPD dipengaruhi oleh gen . Sebuah studi
kembar utama yang ditemukan bahwa jika salah satu kriteria bertemu kembar
identik untuk BPD, yang lain juga memenuhi kriteria di 35 persen dari kasus.
Orang-orang yang telah BPD dipengaruhi oleh gen biasanya memiliki kerabat dekat
dengan gangguan tersebut. Kembar, saudara dan studi keluarga lainnya
menunjukkan sebagian diwariskan dasar untuk agresi impulsif, tapi studi
serotonin gen-terkait dengan saat ini telah disarankan hanya kontribusi
sederhana untuk perilaku.
b.
Pelecehan
Anak
BPD merupakan hasil
dari kombinasi antara kelemahan diri individu dengan tekanan lingkungan, pengabaian
atau kekerasan yang diterima saat masih berusia dini, kemudian berlanjut
menjadi pemicu munculnya gangguan saat penderita berada pada usia dewasa awal.
Sehingga Penderita BPD dewasa seringkali di pandang sebagai korban dari tindak
kekerasan, seperti pemerkosaan dan jenis kejahatan lainnya. Ini juga merupakan
hasil dari sebuah lingkungan tidak sehat yang ditanggapi secara impulsif dan
penilaian yang kurang dalam pemilihan teman hidup dan gaya hidup.
Sejumlah penelitian
telah menunjukkan korelasi kuat antara pelecehan anak , terutamapelecehan
seksual anak , dan perkembangan BPD. Banyak individu dengan BPD melaporkan
telah memiliki riwayat penyalahgunaan dan penelantaran sebagai anak-anak muda.
Pasien dengan BPD telah ditemukan secara signifikan lebih mungkin untuk
melaporkan telah secara verbal, emosional, fisik atau pelecehan seksual oleh
pengasuh baik jender . Ada juga kejadian tinggi inses dan kehilangan pengasuh
pada anak usia dini untuk orang dengan gangguan kepribadian borderline. Mereka
juga lebih mungkin untuk melaporkan memiliki pengasuh (dari kedua jenis
kelamin) menyangkal keabsahan pikiran dan perasaan mereka. Mereka juga
dilaporkan telah gagal untuk memberikan perlindungan yang dibutuhkan, dan
mengabaikan perawatan fisik anak mereka.
Orang tua (dari kedua
jenis kelamin) yang biasanya dilaporkan telah ditarik dari anak secara
emosional, dan telah memperlakukan anak tidak konsisten. Selain itu, wanita
dengan BPD yang melaporkan riwayat mengabaikan oleh pengasuh wanita dan
pelecehan oleh laki-laki pengasuh akibatnya pada risiko secara signifikan lebih
tinggi untuk dilecehkan secara seksual oleh noncaregiver (bukan orangtua). Ia
telah mengemukakan bahwa anak-anak yang mengalami penganiayaan awal kronis dan
lampiran kesulitan dapat terus mengembangkan gangguan kepribadian borderline.
c.
Faktor-faktor
perkembangan
Beberapa studi
menunjukkan bahwa BPD belum tentu menjadi gangguan trauma-spektrum dan bahwa
secara biologis berbeda dari gangguan stres pasca-trauma yang bisa pelopor
cluster kepribadian Gejala ini tampaknya berhubungan dengan spesifik
pelanggaran, tetapi mereka mungkin terkait dengan aspek lebih gigih lingkungan
interpersonal dan keluarga di masa kanak-kanak
Otto Kernberg
merumuskan teori kepribadian borderline berdasarkan premis kegagalan untuk
berkembang di masa kanak-kanak. Menulis dalam tradisi psikoanalitik, Kernberg
berpendapat bahwa kegagalan untuk mencapai tugas perkembangan psikis
klarifikasi diri dan lainnya dapat mengakibatkan peningkatan risiko untuk
mengembangkan varietas psikosis, sedangkan kegagalan untuk mengatasi hasil
pemisahan dalam peningkatan risiko untuk mengembangkan kepribadian borderline.
Penelitian menunjukkan
bahwa, daripada memiliki penyebab tunggal, BPD dapat mengembangkan sebagai
akibat dari sejumlah faktor yang berbeda. Penelitian telah menemukan bahwa
kekerasan baik fisik dan seksual tampaknya menjadi faktor dalam gejala BPD
berkembang. Faktor-faktor lain termasuk lingkungan keluarga juga berkontribusi
pada perkembangan gangguan ini. ] Bradley et al. menemukan bahwa kedua
pelecehan seksual anak (CSA) dan penyalahgunaan masa kanak-kanak fisik baik
secara langsung mempengaruhi perkembangan gejala BPD secara langsung dan
dimediasi oleh lingkungan keluarga.
Penelitian lain telah
memeriksa apakah efektivitas negatif terkait dengan BPD-yaitu, kecenderungan
untuk sering merasa marah, jijik, rasa bersalah, gugup, dan perasaan negatif
lainnya-dapat dibantu dengan teknik penindasan berpikir , atau secara sadar
berusaha untuk tidak berpikir tertentu pikiran. Hasil penelitian ini menemukan
bahwa penekanan berpikir dimediasi hubungan antara efektivitas negatif dan
gejala BPD. Sementara efektivitas negatif secara signifikan diperkirakan gejala
BPD, hubungan ini sangat berkurang ketika penindasan berpikir diperkenalkan ke
dalam model. Dengan demikian, hubungan efektivitas negatif gejala BPD dimediasi
oleh penindasan pikiran. ditemukan bahwa sensitivitas penolakan dan kontrol
eksekutif adalah prediktor gejala BPD, dalam kata lain, orang yang sangat
cenderung merasa ditolak, dan / atau yang memiliki kontrol emosi yang buruk dan
perilaku mereka, lebih mungkin untuk mengembangkan BPD. Faktor lain penulis
dipelajari, yaitu kemampuan seorang anak untuk mentolerir menunda kepuasan pada
usia 4, tampaknya tidak memprediksi perkembangan lanjutan BPD.
d.
Ketidakseimbangan
Neurotransmitter
Ketidakseimbangan
neurotransmiter seperti serotonin, norepinephrine dan acetylcholine
(berpengaruh pada jenis emosi dan mood); GABA, (stabilisator perubahan mood),
fungsi amygdala; ikut mempengaruhi prilaku-prilaku penderita BPD dalam merespon
stressor yang muncul. Prilaku impulsif dan agresivitas disebabkan oleh
ketidakseimbangan serotonin dan bagian wilayah prefrontal kortek.
Penanggulangan/Pengobatan Borderline
Personality Disorder
Pegangan praktis American
Psychiatric Association untuk pengobatan gangguan kepribadian ambang meyarankan
kombinasi antara psikoterapi dengan pengobatan farmakologis untuk hasil yang
optimal. Walaupun tidak ada penelitian tentang kombinasi terapi ini namun
pendapat lama mengatakan bahwa terapi obat membantu psikoterapi dan begitu juga
sebaliknya.
Berikut beberapa terapi pengobatan
untuk gangguan kepribadian ambang (Borderline Personality Disorder):
1. Dialectical Behavioral Therapy
Pertama sekali diperkenalkan oleh
Marsha Linehan pada tahun 1990an untuk intervensi pada pasien yang berkeinginan
untuk bunuh diri, dialectical behavioral therapy (DBT) pada perawatan BPD
merupakan terapi yang berlandaskan pada teori biososial yakni menekankan
fungsi-fungsi pribadi dalam mengatur emosi yang sesuai dengan pengalaman
lingkungan. DBT berasal dari pelbagai bentuk terapi dari congnitive-behavioral
akan tetapi pada DBT menekankan pada saling memberi dan negosiasi antara
terapis dan klien; antara rasional dan emosional, penerimaan dan berubah.
Target yang ingin dicapai adalah penyesuaian antara pelbagai permasalahan yang
sedang dihadapi klien dengan pengambilan keputusan secara tepat. Hal-hal lain
yang didapatkan klien dalam terapi ini adalah; pemusatan konsentrasi, hubungan
interpersonal (seperti keinginan asertif dan ketrampilan sosial), menghadapi
dan adaptasi terhadap distress, identifikasi dan mengatur reaksi emosi secara
tepat.
2. Schema Therapy
Schema therapy merupakan
pendekatan didasarkan pada perilaku-kognitif dan gestalt. Fokus terapi ini pada
aspek emosi, kepribadian dan bagaimana individu bereaksi dengan lingkungan.
Dalam treatment ini menitikberatkan pada hubungan antara terapis dan klien
(pendampingan; reparenting), kehidupan sehari-hari klien diluar terapi, dan pengalaman
trauma masa kecil.
3. Cognitive Behavioral Therapy
Cognitive behavioral therapy (CBT)
adalah jenis terapi yang sangat luas penggunaannya untuk treatment gangguan
mental, namun dalam penyembuhan gangguan BPD terapi ini dianggap kurang
efektif. Kesulitan ditemui ketika pengembangan hubungan interpersonal bersamaan
dengan treatment yang diberikan, oleh karenanya CBT juga mengadopsi schema
therapy.
4. Family Therapy
Terapi keluarga sangat membantu
untuk mengurangi konflik dan stres yang dapat memperburuk kondisi mental
individu dengan BPD. Terapi keluarga melatih anggota keluarga menghargai
individu BPD, meningkatkan komunikasi dan penyelesaian masalah secara
bersama-sama dan saling mendukung antar pasangannya.
5. Transference-Focused Psychotherapy
Transference-focused psychotherapy
(TFP) merupakan bentuk dari terapi psikoanalisa yang dikembangkan oleh Otto
Kernberg. Tidak seperti psikoanalisa yang dianggap sudah ketinggalan zaman,
terapis dalam TFP berperan aktif secara bersama-sama dengan klien dalam setiap
sesi treatment. Terapis berusaha menggali dan mengklarifikasi aspek-aspek dalam
persahabatan yang sesuai dengan kebutuhan klien.
6. Mentalization Based Treatment
Terapi Mentalization based
treatment (MBT) merupakan bentuk regulasi kembali mental yang dianggap telah
terganggu setelah mengalami pelbagai permasalahan di masa kanak-kanak. Fokus
dalam terapi ini adalah mengembangkan diri pasien secara mandiri untuk mengatur
cara berpikir berdasarkan teori-teori psikodinamika. Dalam terapi ini
diusahakan pasien tidak menghabiskan waktunya begitu lama di rumah sakit,
pengurangan pemakaian obat medis, dan menghilangkan hasrat-hasrat negatif
seperti keinginan untuk bunuh diri.